Monday 7 July 2014

Program Pemerintah Di SMAN 22 Bertepuk Sebelah Tangan

Makassar, Koran Investigasi

Peningkatan kualitas sumber daya manusia, dengan memajukan kelembagaan pendidikan dan mutu tenaga pengajarnya. Ternyata bertepuk sebelah tangan, banyak program pemerintah tidak sampai, alias disalah gunakan. Dana APBN yang ditujukan untuk infrastruktur sekolah maupun dana yang meringankan biaya pendidikan bagi siswa salah sasar. 

Pelajar SMAN 22 Makassar misalnya, masih jauh yang diharapkan masyarakat luas. Siswa terlibat demo Jumat 27 Juni 2014, mereka menuntut pihak sekolah berlaku adil kepada anak didik yang termarjinalkan, beberapa kali dalam orasinya meminta kepala sekolah Drs Abd Rahman Umar, M.Si supaya tidak ada pungutan liar kepada anak-anak sekolah. Apalagi jika murid itu tergolong tidak mampu.
Ketidak puasan memuncak pada 29 anak didik yang tidak naik kelas. Namun belakangan pengumuman hasil akhirnya, ada beberapa murid dikatrol untuk dinaikkan. Menurut orang tua Ade Putra F Sumbira, salah satu murid tidak naik, Jufri, S.Sos, katanya untuk kelas dua saja, tadinya 9 (sembilan) orang tidak naik, ternyata perkembangannya tersisa lima siswa. Kuat dugaan kata orang tua Ade, yang empat murid naik kelas itu bermain uang.
‘’Saya merasa anakku dizolimi, apalagi ada guru mengancamnya, mengatakan ‘kamu merasa yakin akan naik kelas’. Padahal anak saya terbilang hanya 2(dua) alfanya saja, beberapa guru berpendapat mestinya dinaikkan,’’ jelas Jufri secara gambelan dengan memberikan gambaran contoh ketidak adilan terjadi.
Ditambahkan Jufri, suatu ketika ada kemenakannya dari daerah ingin bersekolah, dari hasil pembicaraan, kepala sekolah menganjurkan untuk membayar Rp 2,5 juta, agar bisa diterima. Alhasil menurut Jufri ketika itu, saudaranya tidak menyanggupi permintaan Drs Abd Rahman Umar, M.Si.
Halnya penerima Beasiswa Miskin (BSM), dari jumlah 860 pelajar, 145 orang diantaranya penerima BSM SMAN 22 Makassar. Penerima itu, menurut si empunya cerita, tidak sepenuhnya diterima utuh. Pihak sekolah hanya menyerahkan Rp 200 ribu ke murid, tanpa alasan pemotongan kepada murid maupun orang tua. Entah bagaimana prosesnya pihak sekolah bisa mendapatkan uang tanpa haknya itu.
Tersebutlah Muhammad Ilham Akbar, selama empat kali menerima BSM, katanya biasa menerima Rp150 ribu, terkadang Rp 200 ribu diberikan sekolah. Perlu diketahui, keluarganya M Ilham Akbar, benar-benar termasuk golongan pra sejahtera, yang tentunya tidak perlu dikebiri jika bantuan diberikan negara kepadanya, dengan alasan bentuk apapun.
Pemotongan terus berlanjut, pengadaan sumbangan tak terbendung di sekolah, demikian pula iuran atas nama pembangunan sekolah berjalan terus. Tak segan-segan penarikan iuran SPP Rp 87.500,- ribu setiap siswa per bulan, jadi total Rp 1050.000,- per tahun, kemudian ketika jadi siswa baru pun diharuskan membayar uang pembangunan Rp 1,5 juta, belum uang komite dan tetebengek lainnya yang dicari-cari pihak sekolah, untuk dibebankan pada muridnya.
Ironisnya, ada siswa yang sudah tamat 2(dua) tahun lalu 2013 Anugrah Muhammad Tasmin, hingga sekarang belum diambil ijazahnhya, hanya karena belum lunas iuran SPP, uang pembangunan, dan pungutan-pungutan lainnya yang dilegalkan pihak sekolah.
‘’Kasihan teman saya itu, dia mau melamar pekerjaan tapi tidak ada ijazah yang dipegang, hanya karena tidak membayar di sekolah. Akhirnya ia pasrahkan dirinya menjadi kuli bangunan saja, tanpa mengurus ijazahnya lagi,’’ jelas Rahmat, alumni 2013 SMAN 22 Makassar, yang ikut simpati pada siswa pendemo.
Lucunya kata Rahmat, pelajaran bidang studi Kesenian, disaat mendapatkkan nilai merah bisa dibayar dengan sejumlah uang. Begitupun misalnya lanjut Rahmat lagi, seandainya tidak ikut dalam pentas kesenian, maka siswa harus menebus hingga Rp 100 ribu. Atau guru kesenian SMA 22 bernama Ratu sendiri menunjukkan siswa untuk membelikan peralatan kesenian, seperti Jimba, Kajen, ataukah Kecapi.
Lain lagi, Imam Santoso kelas X (kelas l.2) misalnya, menari-nari dan membangkan ketika dipaksa melunasi kewajibannya pada sekolah, padahal ia tidak naik kelas karena soal sepele saja. Katanya, tidak pernah menyangka, kalau dirinya tidak naik kelas.
Padahal selalu rajin kalau ada kegiatan sekolah, seperti menanam markisa di halaman sekolah, dan menggali kolam tambak atau empang tempat pemeliharaan ikan. Beberapa anak yang ikut mendemo kepala sekolah, membenarkan kegiatan berkebun dan menggali tambak di belakang gedung SMANKO itu, memang sering dilakukan.
‘’Bapak kepala sekolah jarang masuk, kalaupun dia masuk hanya pada waktu sebelum jam-jam sekolah (pagi-pagi buta; red), sudah keliling melihat kebun markisa dan empangnya, keluar lagi,’’ jelas salah satu anak pendemo yang dibenarkan sama teman-temannya, sontak jadi ramai berteriak histeri
 Ketika di konfirmasi kepada M. Zaidin, S.Sos Kepala Tata Usaha SMAN 22 Makassar di ruang kepala sekolah, bahwa semua yang ditudukan itu tidak benar adanya, jika dipungut Rp 100 ribu untuk pengambilan ijazah, itu tidak lebih dari hanya uang perpisahan saja.
‘’Memang ada diantara murid-murid itu, ada yang berutang pada sekolah sampai Rp 5 juta. Hingga sekarang belum dilunasi, itu yang perlu ada pemberitahuan ke sekolah, kenapa tidak membayar,’’ kata Zaidin dengan nada serius menanggapi.
Lain dengan Drs Abd Rahman Umar, M.Si Kepala Sekolah SMAN 22 Negeri Makassar, menyangkal adanya punguta-pungutan yang memberatkan pelajar. Menurutnya, bagaimana mungkin BSM bisa dipotong, uangnya saja langsung diterima ke rekening masing-masing siswa bersangkutan.

‘’Soal mempekerjakan anak, untuk menggali empang atau menanam markisa, itu tidak ada. Masalah siswa tidak naik kelas, sebenarnya 26 orang untuk kelas I dan 8 orang untuk kela II. Rata-rata mereka tidak naik karena faktor kemalasan, tidak memasukkan tugas,’’ papar Rahman di ruangan kerjanya di selah kesibukannya menerima siswa baru, sambil menyesalkan orang tua siswa yang kasat-kusut setelah anaknya tidak naik kelas. *Andi Syahruddin

0 comments:

Post a Comment

Baca Juga ?

Social Icons