Makassar, Koran Investigasi

Pelajar SMAN 22 Makassar misalnya, masih jauh yang diharapkan masyarakat luas. Siswa terlibat demo Jumat 27 Juni 2014, mereka menuntut pihak sekolah berlaku adil kepada anak didik yang termarjinalkan, beberapa kali dalam orasinya meminta kepala sekolah Drs Abd Rahman Umar, M.Si supaya tidak ada pungutan liar kepada anak-anak sekolah. Apalagi jika murid itu tergolong tidak mampu.
Ketidak puasan memuncak pada 29 anak didik yang tidak
naik kelas. Namun belakangan pengumuman hasil akhirnya, ada beberapa murid dikatrol
untuk dinaikkan. Menurut orang tua Ade Putra F Sumbira, salah satu murid tidak
naik, Jufri, S.Sos, katanya untuk kelas dua saja, tadinya 9 (sembilan) orang
tidak naik, ternyata perkembangannya tersisa lima siswa. Kuat dugaan kata orang
tua Ade, yang empat murid naik kelas itu bermain uang.
‘’Saya merasa anakku dizolimi, apalagi ada guru
mengancamnya, mengatakan ‘kamu merasa yakin akan naik kelas’. Padahal anak saya
terbilang hanya 2(dua) alfanya saja, beberapa guru berpendapat mestinya
dinaikkan,’’ jelas Jufri secara gambelan dengan memberikan gambaran contoh
ketidak adilan terjadi.
Ditambahkan Jufri, suatu ketika ada kemenakannya dari
daerah ingin bersekolah, dari hasil pembicaraan, kepala sekolah menganjurkan untuk
membayar Rp 2,5 juta, agar bisa diterima. Alhasil menurut Jufri ketika itu,
saudaranya tidak menyanggupi permintaan Drs Abd Rahman Umar, M.Si.
Halnya penerima Beasiswa Miskin (BSM), dari jumlah 860
pelajar, 145 orang diantaranya penerima BSM SMAN 22 Makassar. Penerima itu,
menurut si empunya cerita, tidak sepenuhnya diterima utuh. Pihak sekolah hanya
menyerahkan Rp 200 ribu ke murid, tanpa alasan pemotongan kepada murid maupun
orang tua. Entah bagaimana prosesnya pihak sekolah bisa mendapatkan uang tanpa
haknya itu.
Tersebutlah Muhammad Ilham Akbar, selama empat kali
menerima BSM, katanya biasa menerima Rp150 ribu, terkadang Rp 200 ribu
diberikan sekolah. Perlu diketahui, keluarganya M Ilham Akbar, benar-benar
termasuk golongan pra sejahtera, yang tentunya tidak perlu dikebiri jika bantuan
diberikan negara kepadanya, dengan alasan bentuk apapun.
Pemotongan terus berlanjut, pengadaan sumbangan tak
terbendung di sekolah, demikian pula iuran atas nama pembangunan sekolah
berjalan terus. Tak segan-segan penarikan iuran SPP Rp 87.500,- ribu setiap
siswa per bulan, jadi total Rp 1050.000,- per tahun, kemudian ketika jadi siswa
baru pun diharuskan membayar uang pembangunan Rp 1,5 juta, belum uang komite
dan tetebengek lainnya yang dicari-cari pihak sekolah, untuk dibebankan pada
muridnya.
Ironisnya, ada siswa yang sudah tamat 2(dua) tahun lalu
2013 Anugrah Muhammad Tasmin, hingga sekarang belum diambil ijazahnhya, hanya
karena belum lunas iuran SPP, uang pembangunan, dan pungutan-pungutan lainnya
yang dilegalkan pihak sekolah.
‘’Kasihan teman saya itu, dia mau melamar pekerjaan tapi
tidak ada ijazah yang dipegang, hanya karena tidak membayar di sekolah.
Akhirnya ia pasrahkan dirinya menjadi kuli bangunan saja, tanpa mengurus
ijazahnya lagi,’’ jelas Rahmat, alumni 2013 SMAN 22 Makassar, yang ikut simpati
pada siswa pendemo.
Lucunya kata Rahmat, pelajaran bidang studi Kesenian,
disaat mendapatkkan nilai merah bisa dibayar dengan sejumlah uang. Begitupun
misalnya lanjut Rahmat lagi, seandainya tidak ikut dalam pentas kesenian, maka
siswa harus menebus hingga Rp 100 ribu. Atau guru kesenian SMA 22 bernama Ratu
sendiri menunjukkan siswa untuk membelikan peralatan kesenian, seperti Jimba,
Kajen, ataukah Kecapi.
Lain lagi, Imam Santoso kelas X (kelas l.2) misalnya,
menari-nari dan membangkan ketika dipaksa melunasi kewajibannya pada sekolah,
padahal ia tidak naik kelas karena soal sepele saja. Katanya, tidak pernah
menyangka, kalau dirinya tidak naik kelas.
Padahal selalu rajin kalau ada kegiatan sekolah, seperti
menanam markisa di halaman sekolah, dan menggali kolam tambak atau empang
tempat pemeliharaan ikan. Beberapa anak yang ikut mendemo kepala sekolah, membenarkan
kegiatan berkebun dan menggali tambak di belakang gedung SMANKO itu, memang
sering dilakukan.
‘’Bapak kepala sekolah jarang masuk, kalaupun dia masuk
hanya pada waktu sebelum jam-jam sekolah (pagi-pagi buta; red), sudah keliling melihat
kebun markisa dan empangnya, keluar lagi,’’ jelas salah satu anak pendemo yang
dibenarkan sama teman-temannya, sontak jadi ramai berteriak histeri
Ketika di
konfirmasi kepada M. Zaidin, S.Sos Kepala Tata Usaha SMAN 22 Makassar di ruang
kepala sekolah, bahwa semua yang ditudukan itu tidak benar adanya, jika
dipungut Rp 100 ribu untuk pengambilan ijazah, itu tidak lebih dari hanya uang
perpisahan saja.
‘’Memang ada diantara murid-murid itu, ada yang berutang
pada sekolah sampai Rp 5 juta. Hingga sekarang belum dilunasi, itu yang perlu
ada pemberitahuan ke sekolah, kenapa tidak membayar,’’ kata Zaidin dengan nada
serius menanggapi.
Lain dengan Drs Abd Rahman Umar, M.Si Kepala Sekolah SMAN
22 Negeri Makassar, menyangkal adanya punguta-pungutan yang memberatkan pelajar.
Menurutnya, bagaimana mungkin BSM bisa dipotong, uangnya saja langsung diterima
ke rekening masing-masing siswa bersangkutan.
‘’Soal mempekerjakan anak, untuk menggali empang atau menanam
markisa, itu tidak ada. Masalah siswa tidak naik kelas, sebenarnya 26 orang
untuk kelas I dan 8 orang untuk kela II. Rata-rata mereka tidak naik karena
faktor kemalasan, tidak memasukkan tugas,’’ papar Rahman di ruangan kerjanya di
selah kesibukannya menerima siswa baru, sambil menyesalkan orang tua siswa yang
kasat-kusut setelah anaknya tidak naik kelas. *Andi Syahruddin
0 comments:
Post a Comment