Jakarta, Koran Investigasi
Untuk ke 11 kalinya penyelenggaraan Eagle Awards Documentary Competition (EADC)
di gelar. Eagle Awards Documentary Competition tahun ini hadir dengan
tema “Merajut Indonesia”, dengan ruang lingkup menyangkut masalah Pendidikan,
Kesehatan, Pengelolaan Sumber Daya Alam, Lingkungan, Kesejahteraan Sosial
dan Kemanusiaan, Persamaan dan Kesetaraan mengajak kaum intelektual muda untuk
kembali bersikap kritis dan mengenal kembali Indonesi.
Mengangkat cerita – cerita perjuangan
dan upaya orang – orang biasa dengan kehidupan luar biasa.
Eagle Awards Documentary Competition merupakan ajang kompetisi film dokumenter pemula bagi anak – anak kreatif untuk menyampaikan aspirasi mereka dan merespon isu – isu terkini tentang ke Indonesia-an.
Dan pada ajang Eagle Awards Dokumentary tahun ini Film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ berhasil terpilih menjadi film dokumenter terbaik di ajang Eagle Awards Documentary Competition tahun 2015.
Sebuah film dokumenter karya Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldi ini mengisahkan tentang bagaimana budaya asli Indonesia sudah mulai digeser oleh perkembangan zaman. Hal itu dirasakan oleh Esau Nalle, pemain sekaligus penyair Sasandu Gong yang merasa sedih budaya asli Nusa Tenggara Timur sudah mulai dilupakan. Bahkan, dalam sebuah acara pernikahan, Esau Nalle merasa sedih ketika alunan musik Sasandu Gong dan lantunan syair Rote tak diminati kerumunan tamu peserta yang riuh berdansa pada alunan musik modern.
Penyerahan hadiah diserahkan oleh Deputi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI Djagal Wiseso kepada sutradara film ‘Memetik Sadandu di Nusa Lontar’ Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldy pada malam penganugerahan Eagle Awards Documentary Competition 2015 di Grand Studio Metro TV, Jakarta, Senin (9/11) malam.
Wisnu Dwi Prasetryo, sutradara film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ menuturkan dalam membuat film ini ia terinspirasi ketika menjadi bagian dalam Indonesia mengajar di Rote Ndao, NTT. Saat tinggal di Rote selama satu tahun ia bertemu dengan Esau Nalle seorang guru sekolah dasar di Rote yang aktif memainkan alat musik Sasando. “Setiap hari beliau main sasandu terus. Dari situ saya melihat hal menarik untuk diceritakan, “ katanya.
Untuk memproduksi film ini, Wisnu menghabiskan dana sebesar Rp 28 juta. Proses pengerjaan produksi film ini pun cukup singkat. Wisnu membutuhkan waktu tidak lebih dari satu bulan untuk membuat film dokumenter tersebut dapat ditonton dan dilombakan dalam Eagle Awards Documentary Competition yang digagas oleh Metro TV.
“Waktu produksinya memang singkat, namun risetnya yang cukup lama selama 1 tahun ketika saya tinggal di sana. Sebelum mulai syuting kita juga lakukan riset ulang selama tujuh hari,” jelasnya.
Ryan Rinaldy, yang juga merupakan tim pembuat film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ menuturkan, dengan adanya film ini dirinya ingin menyampaikan bahwa musik Sasandu merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga.
Mewakili subjek mereka Esau Nalle, Ryan menuturkan bahwa film ini juga ingin menyampaikan bahwa penyebutan sasando yang benar ialah sasandu. Sasandu berasal dari sari dan sandu. sari artinya dipetik, sandu artinya bergetar dan menghasilkan bunyi. “Jadi harapan beliau ke depan dari film ini bisa memberi pemahaman ke orang lain tentang sasandu bukan sasando. Mudah-mudahan kami bisa meneruskan ke lembaga bahasa agar ada perubahan penulisan di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),” tuturnya.
Sementara Hanung Bramantyo, salah satu juri Eagle Awards Documentary, menilai, film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ berhasil merepresentasikan tema pelaksanaan Eagle Awards yang ke-11 tentang merajut Indonesia. Selain Hanung, Aktris Senior Christine Hakim dan Produser Tino Saroengallo turut menjadi juri. “Film ini berbicara tentang identitas, kultur. Karena kultur itu merupakan jati diri, “ tutur Hanung kepada wartawan.
Hanung menambahkan, film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ berhasil memvisualisasikan ‘Sasandu’ sebagai sebuah kultur dan jati diri Indonesia dengan baik di antara lima film yang masuk sebagai nominasi. Menurut tim juri, mempertahankan kultur dan jati diri bangsa merupakan pesan penting di tengah gempuran budaya luar yang masuk ke Indonesia. “Ini penting karena di tengah gempuran kultur dari luar, bangsa kita sering mudah menyerah dan lupa akan jati diri bangsanya. Nah di film ini digambarkan seseorang membawa kulturnya dan mempertahankan kultur tersebut,” terang Hanung.
Film ‘Sekolah Tapal Batas’ bagus dan menyentuh. Cuma kita lebih memilih ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ karena persoalan yang diangkat lebih kuat dalam mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, “ tandasnya
Selain film dokumenter ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’, terdapat pula empat film lainnya yang berhasil masuk menjadi lima besar dalam ajang Eagle Awards Documentary Competition. Keempat film tersebut, yaitu ‘Suara Tembok Kota’ karya Alexander Averil dan Ernest Meikel, ‘Tinta Perajut Bangsa’ karya Visian Pramudika dan Diana Noviana, ‘Sekolah Tapal Batas’ karya Debi Ahyard Rinaldi dan Runnyati Tahir, serta ‘Pejuang Dari Gua Purbakala’ karya Nurtaqdir Anugrah dan Muhammad Fahmi Iskandar.
.Film Dokumenter ‘Sekolah Tapal Batas’ berhasil terpilih menjadi film pilihan juri. Sedangkan, untuk film favorit pemirsa jatuh pada ‘Tinta Perajut Bangsa’. (Buyil)
Eagle Awards Documentary Competition merupakan ajang kompetisi film dokumenter pemula bagi anak – anak kreatif untuk menyampaikan aspirasi mereka dan merespon isu – isu terkini tentang ke Indonesia-an.
Dan pada ajang Eagle Awards Dokumentary tahun ini Film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ berhasil terpilih menjadi film dokumenter terbaik di ajang Eagle Awards Documentary Competition tahun 2015.
Sebuah film dokumenter karya Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldi ini mengisahkan tentang bagaimana budaya asli Indonesia sudah mulai digeser oleh perkembangan zaman. Hal itu dirasakan oleh Esau Nalle, pemain sekaligus penyair Sasandu Gong yang merasa sedih budaya asli Nusa Tenggara Timur sudah mulai dilupakan. Bahkan, dalam sebuah acara pernikahan, Esau Nalle merasa sedih ketika alunan musik Sasandu Gong dan lantunan syair Rote tak diminati kerumunan tamu peserta yang riuh berdansa pada alunan musik modern.
Penyerahan hadiah diserahkan oleh Deputi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI Djagal Wiseso kepada sutradara film ‘Memetik Sadandu di Nusa Lontar’ Wisnu Dwi Prasetyo dan Ryan Rinaldy pada malam penganugerahan Eagle Awards Documentary Competition 2015 di Grand Studio Metro TV, Jakarta, Senin (9/11) malam.
Wisnu Dwi Prasetryo, sutradara film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ menuturkan dalam membuat film ini ia terinspirasi ketika menjadi bagian dalam Indonesia mengajar di Rote Ndao, NTT. Saat tinggal di Rote selama satu tahun ia bertemu dengan Esau Nalle seorang guru sekolah dasar di Rote yang aktif memainkan alat musik Sasando. “Setiap hari beliau main sasandu terus. Dari situ saya melihat hal menarik untuk diceritakan, “ katanya.
Untuk memproduksi film ini, Wisnu menghabiskan dana sebesar Rp 28 juta. Proses pengerjaan produksi film ini pun cukup singkat. Wisnu membutuhkan waktu tidak lebih dari satu bulan untuk membuat film dokumenter tersebut dapat ditonton dan dilombakan dalam Eagle Awards Documentary Competition yang digagas oleh Metro TV.
“Waktu produksinya memang singkat, namun risetnya yang cukup lama selama 1 tahun ketika saya tinggal di sana. Sebelum mulai syuting kita juga lakukan riset ulang selama tujuh hari,” jelasnya.
Ryan Rinaldy, yang juga merupakan tim pembuat film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ menuturkan, dengan adanya film ini dirinya ingin menyampaikan bahwa musik Sasandu merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga.
Mewakili subjek mereka Esau Nalle, Ryan menuturkan bahwa film ini juga ingin menyampaikan bahwa penyebutan sasando yang benar ialah sasandu. Sasandu berasal dari sari dan sandu. sari artinya dipetik, sandu artinya bergetar dan menghasilkan bunyi. “Jadi harapan beliau ke depan dari film ini bisa memberi pemahaman ke orang lain tentang sasandu bukan sasando. Mudah-mudahan kami bisa meneruskan ke lembaga bahasa agar ada perubahan penulisan di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),” tuturnya.
Sementara Hanung Bramantyo, salah satu juri Eagle Awards Documentary, menilai, film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ berhasil merepresentasikan tema pelaksanaan Eagle Awards yang ke-11 tentang merajut Indonesia. Selain Hanung, Aktris Senior Christine Hakim dan Produser Tino Saroengallo turut menjadi juri. “Film ini berbicara tentang identitas, kultur. Karena kultur itu merupakan jati diri, “ tutur Hanung kepada wartawan.
Hanung menambahkan, film ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ berhasil memvisualisasikan ‘Sasandu’ sebagai sebuah kultur dan jati diri Indonesia dengan baik di antara lima film yang masuk sebagai nominasi. Menurut tim juri, mempertahankan kultur dan jati diri bangsa merupakan pesan penting di tengah gempuran budaya luar yang masuk ke Indonesia. “Ini penting karena di tengah gempuran kultur dari luar, bangsa kita sering mudah menyerah dan lupa akan jati diri bangsanya. Nah di film ini digambarkan seseorang membawa kulturnya dan mempertahankan kultur tersebut,” terang Hanung.
Film ‘Sekolah Tapal Batas’ bagus dan menyentuh. Cuma kita lebih memilih ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’ karena persoalan yang diangkat lebih kuat dalam mempertahankan jati diri bangsa Indonesia, “ tandasnya
Selain film dokumenter ‘Memetik Sasandu di Nusa Lontar’, terdapat pula empat film lainnya yang berhasil masuk menjadi lima besar dalam ajang Eagle Awards Documentary Competition. Keempat film tersebut, yaitu ‘Suara Tembok Kota’ karya Alexander Averil dan Ernest Meikel, ‘Tinta Perajut Bangsa’ karya Visian Pramudika dan Diana Noviana, ‘Sekolah Tapal Batas’ karya Debi Ahyard Rinaldi dan Runnyati Tahir, serta ‘Pejuang Dari Gua Purbakala’ karya Nurtaqdir Anugrah dan Muhammad Fahmi Iskandar.
.Film Dokumenter ‘Sekolah Tapal Batas’ berhasil terpilih menjadi film pilihan juri. Sedangkan, untuk film favorit pemirsa jatuh pada ‘Tinta Perajut Bangsa’. (Buyil)
0 comments:
Post a Comment