Oleh
Muhammad Arab, SPd
( Sekretaris Lembaga Konsultan
& Bantuan Hukum PGRI Kota Makassar )
Guru di sini adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
formal, yaitu pendidikan dasar dan
pendidikan menengah (Pasal (1) butir (1) PP No.74/2008 tentang Guru).
Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 pasal satu (1), Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, menbimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini,
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan menengah. Tentu akan jelas di sini,
bahwa dosen bukanlah guru, karena tidak mengajar pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah. Dan guru bukan dosen, karena tidak dikukuhkan dengan SK untuk
mengajar di perguruan tinggi. Konsekuensinya, menggugurkan hak dosen untuk menjadi pengurus organisasi profesi
guru. Kedudukan Undang-Undang lebih tinggi daripada Kepres yang mengesahkan
Anggaran Dasar PGRI. Jelas di sini, dosen yang tidak memiliki sertifikat
sebagai tenaga pendidik (guru), maka pantaslah jika tidak menjadi anggota atau
pengurus PGRI.
Dasar pijakan mereka yang antusias jadi
pengurus, adalah guru dan dosen sama-sama pengajar dan pendidik yang lebih
formal disebut sebagai tenaga pendidik. Bahkan dengan alasan itu juga, hingga
sekarang keduanya berhimpun dalam
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pejabat pun dari Dinas Pendidikan Kabupaten/
Kota dan Provinsi tidak tinggal diam, untuk merebut kursi kepengurusan PGRI,
hanya kepentingan karena perpanjangan tangan pejabat poloitik daerah. Bukanlah
perbaikan nasib guru, selama ini ditunggu oleh pahlawan tanda jasa itu. Namun
tekanan serta intimidasi silih berganti dari sang pejabat. Ancaman yang paling
klise, diantaranya isu mutasi.
Dalam perjalanan sejarahnya, guru tak
banyak berbuat dalam organisasi profesi
itu, karena dosenlah yang mendominasi
kepengurusan PGRI, selain pejabat, sehingga nasib guru sangat terabaikan
dalam perjuangan PGRI selama 68 tahun yang lalu, bahkan selalu dalam tudingan
tidak berkualitas, padahal dalam jenjang tugasnya dan kewajiban yang harus diembannya
setiap hari, guru sudah berhasil dan mampu menjalankan tugasnya 3 kali beban
tugas yang diberikan oleh pemerintah. Sehingga isu guru tidak bermutu, lebih
bernuansa politis, ketimbang sebuah kebenaran, apalagi bukan hasil penelitian.
Buktinya semua lulusan SD paling tidak 99,9% dapat membaca, menulis, dan
berhitung. Memang tidak bisa dibandingkan dengan lulusan universitas, karena
mengajar membutuhkan psikologi perkembangan.
Untuk itu, sangat relevan dengan apa yang
dikatakan Oemi Abdurahman dalam bukunya Dasar-Dasar
public Relation, bahwa profesi adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan
seni atau pelayanan yang terampil, melibatkan ilmu pengatahuan dengan menuruti
standard etika. Sedangkan pengertian guru adalah pegawai negeri sipil yang
diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan dengan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk melaksanakan pendidikan. Tugas utama mengajar peserta didik pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah termasuk taman kanak-kanak, atau membimbing
peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.
Sedangkan organisasi profesi guru adalah
perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk
mengembangkan profesionalisme guru (pasal (1) butir (6) PP No. 74/2008 tentang
guru).
Karena itulah, masuknya pejabat, pensiunan
(rakyat jelata), dosen, dan tenaga kependidikan lainnya dalam organisasi
profesi guru adalah illegal dan melawan hukum. Karena melecehkan warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai guru
yang sah, yaitu guru yang memiliki sertifikat pendidik yang disahkan oleh universitas sebagai
pemegang otoritas sertifikasi guru. Guru kini sangat tertekan dan stress karena
keberadaan pengurus PGRI yang ilegal itu, karena merasa dilecehkan selama 30
tahun ORBA sampai 15 tahun reformasi, juga belum ada perubahan yang berarti, bahkan ironisnya,
organisasi PGRI terseret-seret ke dalam politik praktis. Secara kasat mata,
mobilisasi kepala sekolah dan guru-guru, untuk menggerakkan massa ketempat
lokasi kampanye, baik di dalam kota maupun ke luar daerah (tempat kelahirannya
sang guru), membuatnya tak berdaya.
Maka tak hayal, ketika isu mutasi yang
dihembuskan, sang pejabat mulai getar-getir mencari “wangsit” atau jaminan tidak akan digeser sang big
bos, tak terkecuali cara haram atau halal yang dilakukannya-hanya satu
dipikirkan yaitu mempertahankan kelanggengan jabatannya. Sudah menjadi rahasia
umum, untuk jabatan tertentu akan dikenakan tarif tertentu pula.”.
0 comments:
Post a Comment